Rasio-Rasio yang digunakan untuk
menganalisis
Laporan Keuangan Sektor Publik
1.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, rasio ini akan
menunjukkan seberapa besar dana sendiri (Pendapatan Asli Daerah) yang digunakan
untuk membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Semakin besar rasio ini berarti ketergantungan terhadap bantuan
dari pihak luar semakin berkurang seperti hibah, bantuan pemerintah pusat
maupun propinsi. Rasio ini pun menggambarkan seberapa besar partisipasi masyarakat
dalam melakukan pembangunan karena PAD diperoleh dari masyarakat melalui pajak,
retribusi daerah yang menjadi komponen utama dalam PAD.
Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah =
Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman
(Semakin tinggi rasio di atas maka
semakain baik kinerja suatu lembaga sektor publik.)
2. Rasio
Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, setiap pemerintahan telah memiliki estimasi
Pendapatan Asli Daerah yang tentunya disusun berdasarkan potensi-potensi yang
dimiliki suatu daerah. Tidak tertutup kemungkinan dalam realisasinya,
Pendapatan Asli Daerah lebih besar atau lebih kecil dari yang telah
diestimasikan. Rasio Efektivitas PAD ini menunjukkan seberapa efektif suatu
daerah dalam merealisasikan PAD yang telah dianggarkan tersebut.
Dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Efektifitas
= Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) / Target Penerimaan
PAD yang ditetapkan Berdasarkan Potensi Riil Daerah
(Semakin tinggi rasio di atas maka
semakin baik kinerja suatu lembaga sektor publik, karena semua rencana
benar-benar terlaksana dan hal itu berarti bahwa kinerjanya terbukti)
3. Rasio
Efisiensi Pendapatan Asli Daerah, dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah
tentunya dikeluarkan biaya-biaya, hal ini akan menggambarkan kinerja pemerintah
dalam melakukan pemungutan pendapatan yang diimbangi dengan biaya yang memenuhi
batas kewajaran.
Dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio Efisiensi PAD = Biaya yang
Dikeluarkan untuk Memungut PAD / Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
4. Rasio
Aktivitas, rasio ini melakukan perbandingan antara aktivitas-aktivitas baik
dari segi apa yang dilaksanakan maupun kapan pelaksanaannya.
Secara garis besar aktivitas yang
membutuhkan belanja dalam pemerintahan adalah dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu belanja rutin dan belanja
pembangunan. Demikian pula pelaksanaan aktivitas tersebut dapat terbagi-bagi
dalam beberapa periode (bagian dalam tahunan). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah khususnya pasal
37 menyebutkan bahwa daerah menyampaikan laporan triwulan pelaksanaan APBD
kepada DPRD. Tujuan dari pelaporan triwulan tersebut disamping sebagai kontrol
jangka pendek juga diharapkan adanya pemerataan pelaksanaan dalam tiap
periodenya. Apabila dalam tiap periodenya tidak merata berarti ada pemanfaatan
tenaga kerja tidak merata pula. Terkadang pula dalam pelaporan triwulan
khususnya pada triwulan awal belanja akan diperkecil sehingga laporan APBD
terlihat surplus (dengan asumsi realisasi penerimaan sesuai dengan anggaran)
ini berarti akan terjadi penumpukan beban pada triwulan akhir.
·
Rasio
belanja terhadap APBD = Total belanja rutin / Total APBN
·
Rasio
belaja pembangunan terhadap APBN = Total belanja pembangunan / Total APBD
Rasio
Aktivitas ini akan melihat keserasian antara belanja rutin terhadap APBD dan
keserasian antara belanja pembangunan terhadap APBD.
5. Derajat
Desentralisasi merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
Derajat Desentralisasi = Pendapatan
Asli Daerah (PAD) / Total Penerimaan Daerah
6. Rasio
Ketergantungan merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar
tingkat ketergantungan pemerintah daerah menggunakan dana-dana yang diberikan
pemerintah.
Rasio Ketergantungan =Pendapatan
Transfer/ Total Penerimaan Daerah
(Semakin tinggi rasio
ketergantungan maka semakin buruk pemerintah daerah karena tidak adanya dana
dari penghasilan daerah sendiri yang seharusnya dapat membiayai kebutuhan daerahnya
sendiri)
7.
Debt Service Coverage Ratio (DSCR), dalam melaksanakan
roda pemerintahan, tiap daerah diperbolehkan untuk melakukan pinjaman dari
pihak luar, namun pemerintah harus memiliki rasio DSCR minimal 2,5. Rasio DSCR
tersebut akan menggambarkan kemampuan dalam melakukan pembayaran pinjaman dari
pihak ketiga tersebut. DSCR dihitung dengan melakukan perbandingan antara
penjumlahan PAD, Bagian Daerah (BD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dikurangi
Belanja Wajib (BW) dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman
lainnya yang jatuh tempo.
Dapat
dirumuskan sebagai berikut :
DSCR =
(PAD+BD+DAU-BW) / (Angsuran Pokok+Bunga+Biaya pinjaman jatuh tempo)
8.
Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio), untuk mengetahui
komponen-komponen (Pendapatan, PAD, Belanja, Belanja Rutin dan sebagainya) mana
yang perlu mendapatkan perhatian sebaiknya melihat terlebih dahulu pertumbuhan
komponen-komponen tersebut. Selain ini ratio pertumbuhan ini akan menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan
yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Sebaiknya pertumbuhan
ini dinyatakan dalam bentuk persentase.
Pertumbuhan yang diukur dalam
organisasi sektor publik meliputi :
- Pertumbuhan
Aset = Mengukur perubahan dari aset antara satu periode dengan periode
yang lain.
Rumusnya : (Aset akhir
– Aset Awal) (100%) / Aset awal
- Pertumbuhan
Utang = Mengukur perubahan dari Utang antara satu periode dengan periode
yang lain.
Rumusnya : (Utang akhir – Utang Awal) (100%) / Utang awal
- Pertumbuhan
Ekuitas = Mengukur perubahan dari Ekuitas antara satu periode dengan
periode yang lain.
Rumusnya : (Ekuitas
akhir – Ekuitas Awal) (100%) / Ekuitas
awal
- Pertumbuhan
Pendapatan = Mengukur perubahan dari Pendapatan antara satu periode dengan
periode yang lain.
Rumusnya : (Pendapatan
akhir – Pendapatan Awal) (100%) / Pendapatan awal
- Pertumbuhan
Belanja = Mengukur perubahan dari Belanja antara satu periode dengan
periode yang lain.
Rumusnya : ( Belanja
Akhir – Belanja Awal) (100%) / Belanja
awal
- Pertumbuhan
Surplus/Defisit = Mengukur perubahan dari Surplus/Defisit antara satu
periode dengan periode yang lain.
Rumusnya :
(Surplus/Defis akhir – Surplus/Defis Awal) (100%) / Surplus/Defis awal
- Pertumbuhan
SiLPA/SiKPA = Mengukur perubahan dari SiLPA/SiKPA antara satu periode
dengan periode yang lain.
Rumusnya : (SiLPA/SiKPA
– SiLPA/SiKPA Awal) (100%) / SiLPA/SiKPA awal
Sebagai contoh mengukur pertumbuhan
dari tahun 2007-2008
URAIAN
|
APBD Tahun 2007
|
APBD Tahun 2008
|
Kenaikan/Penurunan
|
% Perubahan (Rasio)
|
Pendapatan:
Belanja:
1.
Belanja Operasi
2.
Belanja Modal
3.
Belanja Tak Tersangka
4.
Transfer Bagi Hasil
Jumlah
Belanja
Surplus/(defisit)
Pembiayaan:
a.
Penerimaan
b.
Pengeluaran
Pembiayaan
Netto
Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan
|
386.379.840.175
319.951.860.451
32.664.490.572
723.941.910
830.565.652
54.170.858.585
32.208.981.590
32.642.420.241
60.675.746.010
(28.033.325.769)
4.175.655.821
|
542.342.430.376
409.229.231.051
52.646.083.439
1.615.050.300
511.243.365
464.001.608.155
78.340.822.221
4.175.655.821
30.165.431.374
(25.989.775.553)
52.351.046.668
|
155.962.590.201
89.277.370.600
19.981.592.867
891.108.390
319.322.287
109.830.749.570
46.131.840.631
28.466.764.420
30.510.314.636
2.043.550.216
48.175.390.847
|
40,37%
27,90%
61,17%
123,09%
38,44%
31,01%
143,23%
87,21%
50,28%
-7,29%
1153,7%
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar